Pelopor.id | Jakarta – Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak lagi ditarik-tarik ke dalam sengkarut pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Pernyataan itu sekaligus merespons surat dari 57 pegawai KPK non-aktif ke Jokowi, yang meminta Jokowi mengangkat mereka menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), berdasarkan kesimpulan Ombudsman RI dan Komnas HAM.
Menurut Ngabalin, pimpinan KPK sudah mengambil keputusan terkait nasib pegawai KPK yang tidak lolos TWK, dan Jokowi sudah menaati asas-asas yang berlaku dengan tidak mengintervensi keputusan pimpinan KPK.
Baca juga: Profil Faldo Maldini yang Dijuluki The New Ngabalin
Di samping itu, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono mengatakan, Jokowi sudah mengetahui dan menghormati rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM mengenai TWK untuk pegawai KPK. Namun, Jokowi masih menunggu proses hukum yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
“Presiden menghormati rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM,” kata Dini kepada wartawan, Rabu (25/08/2021). Dini juga mengatakan, arahan Jokowi terkait masalah ini tetap sama. Pada 17 Mei, Jokowi menyatakan bahwa TWK tidak bisa serta merta menjadi dasar pemberhentian 75 pegawai KPK.
Baca juga: Profil Farhat Abbas, Pengacara & Pendiri Partai Pandai
Profil Ali Mochtar Ngabalin
Sebelum masuk pemerintahan, Ngabalin dikenal dengan gaya khas bicaranya yang meledak-ledak. Berikut ini profil singkatnya. Ali Mochtar Ngabalin lahir di Fakfak, Papua Barat, 25 Desember 1968. Ia menikah dengan wanita yang bernama Henny Muis Bakkidu dan dikaruniai empat orang anak. Ngabalin juga dikenal sebagai pengajar, mubaligh dan politikus.
Ia pernah menjabat sebagai Ketua DPP Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) dan juga pernah menjadi direktur eksekutif di lembaga nirlaba, salah satunya Adam Malik Center.
Selain itu, Ngabalin pernah menjadi anggota Komisi I DPR periode 2004-2009, dan memperoleh momentum pada pertengahan September 2005 ketika berinisiatif mengajukan penggunaan hak interpelasi. Saat itu, Ngabalin mempermasalahkan kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang memimpin sidang kabinet jarak jauh Amerika Serikat-Jakarta melalui telekonferensi. Menurutnya, pelaksanaan telekonferensi adalah langkah gegabah, karena bisa membuka rahasia negara.
Baca juga: Profil Indonesia Corruption Watch yang Disomasi Moeldoko terkait Kasus Ivermectin
Kemudian pada 2010, ia keluar dari Partai Bulan Bintang dan berpindah ke Partai Golkar. Ngabalin sempat menjadi pembela garis keras Prabowo Subianto saat Pilpres 2014, yang belakangan membelot ke poros Jokowi.
Saat Pilpres 2014, Ngabalin menegaskan, Kubu Prabowo menghormati keputusan MK yang memenangkan Jokowi-JK. Namun, ia tetap tidak mau menerima kenyataan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta naik jabatan menjadi RI 1. Dia yakin Tuhan tidak tidur dan melihat keadilan di Indonesia. Bahkan, Ngabalin juga menuding Jokowi-JK adalah manusia otoriter.
Baca juga: Profil Mantan Napi Koruptor Emir Moeis yang Jadi Komisaris BUMN
Setelah berpindah poros pada Pilpres 2019, Ngabalin yang saat itu sudah menjabat Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden, menuding pidato Prabowo yang bertema Indonesia Menang, penuh dengan data bohong. Menurutnya, ucapan Prabowo yang saat itu adalah capres nomor urut 02, hanya membuat masyarakat risau.
Dalam pidato tersebut, Prabowo menyampaikan kritik tajamnya terhadap program pemerintah dari sektor sosial sampai ekonomi. Pemerintah dinilai tidak perhatian pada rakyat karena masih banyak warga miskin dan menganggur. Prabowo juga mengkritik soal kebijakan impor gula dan beras yang dilakukan Presiden Jokowi saat musim panen. Menanggapi pidato itu, Ngabalin mengatakan ingin merebut kekuasaan adalah hal yang lumrah, sepanjang tidak menyampaikan data yang salah. []