Pelopor.id | Jakarta – Bareskrim Polri menaikkan status kasus dugaan penyelewengan dana CSR oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dari penyelidikan ke tahap penyidikan. Hal ini dilakukan Penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri usai memeriksa sejumlah saksi dan menemukan dua bukti permulaan yang cukup.
Bareskrim terkait hal ini memeriksa empat orang saksi yakni pendiri ACT Ahyudin, Presiden ACT Ibnu Khajar, manajer operasional serta bagian keuangan ACT. Pemeriksaan ini, berkaitan dengan dugaan penyelewengan dana sosial ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang terjadi 2018 lalu.
Terkait dana CSR korban Pesawat Lion Air JT-610, penyidik menduga kuat ada penyelewengan dana yang dilakukan oleh pengurus ACT yakni mantan Presiden ACT Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar. Keduanya diduga telah menyalahgunakan sebagian dana sosial itu untuk kepentingan pribadi dan operasional berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi.
Memperkuat dugaan ini, penyidik melakukan audit keuangan terhadap dua sumber pendanaan yang dikelola oleh ACT dan akuntan publik. Dana yang diaudit tersebut, pertama adalah pengelolaan dana sosial kepada 68 ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 senilai Rp2 miliar lebih untuk setiap korban dengan total Rp138 miliar.
Bareskrim menduga, ACT tidak memberitahukan realisasi jumlah dana sosial yang diterimanya dari pihak Boeing ke ahli waris korban termasuk nilai serta progres pekerjaan yang dikelola oleh Yayasan ACT. Yayasan ACT juga diduga tidak merealisasikan seluruh dana sosial yang diperoleh dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana sosial tersebut ditilep untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staf pada Yayasan ACT.

Audit yang kedua, dana donasi yang diterima ACT dari berbagai pihak dengan total sebesar Rp60 miliar setiap bulannya. Dana itu bersumber dari donasi masyarakat umum, donasi kemitraan, perusahaan nasional dan internasional, donasi institusi atau kelembagaan non korporasi dalam negeri maupun internasional, donasi dari komunitas, dan donasi dari anggota lembaga.
lebih lanjut, Penyidik menduga ada penyelewengan terkait dana dari masyarakat itu, sebab dana sebesar Rp60 miliar perbulan, kemudian dana tersebut dipotong ACT sebesar 10 sampai 20 persen perbulan atau Rp6 miliar – Rp60 miliar untuk keperluan pembayaran gaji pengurus dan seluruh karyawan. Pembina dan pengawas juga menikmati dana operasional itu. []