Pelopor.id | Jakarta – Inflasi di Afrika Selatan pada Juli mencetak rekor baru dalam 13 tahun terakhir, terutama didorong oleh melonjaknya harga makanan, transportasi dan listrik, yang kemudian memicu protes para pekerja atas tingginya biaya hidup.
Badan statistik nasional StatsSA menyebutkan bahwa harga konsumen mencapai tingkat tahunan 7,8 persen pada Juli, naik dari 7,4 persen pada Juni.
Para pemogok yang dipimpin oleh dua serikat pekerja terbesar di Afrika Selatan menyerukan tindakan pemerintah untuk memerangi meningkatnya kemiskinan dan biaya hidup di negara yang paling tidak setara di dunia.
Sementara angka inflasi baru adalah berita buruk bagi konsumen, para ekonom melihat negara itu kemungkinan mencapai titik kritis dan percaya inflasi dapat mereda dalam beberapa bulan mendatang.
“Inflasi kali ini akan lebih rendah tahun depan,” kata ekonom dari perusahaan jasa keuangan Efficient Group, Dawie Roodt, seperti dikutip dari AFP.
Inflasi telah melonjak di seluruh dunia, didorong oleh gangguan rantai pasokan setelah pelonggaran pembatasan Covid serta melonjaknya harga energi dan pangan setelah invasi Rusia ke Ukraina.
Bagi warga Afrika Selatan, hal itu mengakibatkan meningkatnya biaya untuk kebutuhan termasuk makanan, listrik, bahan bakar dan obat-obatan, kata badan statistik. Harga bahan bakar naik 56,2 persen dari tahun lalu.
Inflasi yang meningkat mendorong bank sentral Afrika Selatan untuk memberlakukan kenaikan paling tajam pada suku bunga acuan bulan lalu, menaikkannya tiga perempat poin persentase menjadi 5,5 persen.
Meningkatnya biaya hidup di Afrika Selatan telah berdampak pada populasi di mana tingkat pengangguran mendekati 34 persen.
Juru bicara kabinet Phumla Williams menyebut angka pengangguran sebagai “perhatian utama” dan pemulihan ekonomi tetap menjadi prioritas pemerintah setelah pandemi.[]