Jakarta | Georgia menggelar rapat umum massa baru pada hari Minggu, menuntut pemerintah mengundurkan diri atas kegagalan untuk secara resmi mengamankan pencalonan untuk keanggotaan Uni Eropa (UE).
Negara Laut Hitam itu telah berada dalam cengkeraman protes massal sejak para pemimpin UE memutuskan pada akhir Juni untuk menunda aplikasi keanggotaan Tbilisi, sambil menunggu reformasi politik menyeluruh.
Sejumlah kelompok pro-demokrasi terkemuka dan didukung oleh partai-partai oposisi telah menggelar aksi unjuk rasa terbesar dalam beberapa dekade, yang melibatkan setidaknya 120.000 orang turun ke jalan pada 20 Juni.
Mengutip AFP, pada Minggu malam, lebih dari 35.000 demonstran berkumpul di luar parlemen Georgia, memblokir lalu lintas di jalan raya utama ibukota Georgia, Tbilisi. Sambil mengibarkan bendera Georgia dan UE, para demonstran menyanyikan lagu kebangsaan karena banyak yang memegang plakat bertuliskan “Kami adalah Eropa”.
“Demonstrasi kami difokuskan pada tujuan bersejarah integrasi Eropa Georgia. Reaksi pemerintah terhadap protes kami yang konstruktif, damai, tanpa kekerasan sama sekali tidak memadai,” kata penulis terkemuka dan aktivis sipil Lasha Bugadze, yang turut menjadi salah satu penyelenggara unjuk rasa.
Di sisi lain, partai yang berkuasa menuduh oposisi menggerakkan rencana untuk menggulingkan pihak berwenang dengan mengorganisir demonstrasi anti-pemerintah.
Georgia mengajukan keanggotaan UE bersama dengan Ukraina dan Moldova, beberapa hari setelah Rusia pada 24 Februari menginvasi Ukraina.
Pada tanggal 23 Juni, para pemimpin Uni Eropa memberikan status calon resmi kepada Kyiv dan Chisinau tetapi mengatakan Tbilisi hanya bisa menjadi calon resmi setelah masalah yang beredar ditangani.
Penundaan pencalonan Georgia menjadi kesimpulan yang pasti setelah Komisi Eropa mengatakan pada 20 Juni bahwa Tbilisi harus menerapkan sejumlah reformasi pada akhir 2022 sebelum dimasukkan ke jalur keanggotaan formal.[]