Jakarta – Lawang Sewu, adalah bangunan bersejarah yang dibangun pada zaman kolonial Belanda di tahun 1900an yang menjadi saksi bisu peristiwa pertempuran lima hari yang berlangsung pada tahun 1945 antara Angkatan Pemuda Kereta Api (AMKA) dengan tentara Jepang.
Tempat ini, juga dikenal angker karena ruangan bawah tanahnya pernah dijadikan tempat penyiksaan oleh tentara Jepang. Hantu yang dilaporkan menghuni tempat itu adalah seorang noni Belanda yang melakukan bunuh diri di dalam gedung tersebut serta penampakan “hantu tanpa kepala”. Kisah mistis Lawang Sewu pernah diangkat menjadi sebuah film horor pada tahun 2007 yang dirilis berdasarkan legenda urban.
Arti Nama Lawang Sewu
Lawang berarti pintu, dan sewu bermakna seribu menurut istilah orang Jawa atau menjadi kata yang mewakili angka paling banyak di zaman dahulu. Sehingga Lawang Sewu artinya seribu pintu. Namun, dilihat dari jumlah aslinya, Lawang Sewu ini hanya memiliki 928 pintu. Kurang 72 pintu dan menjadi misteri mengapa disebut seribu pintu.
Sejarah Pembangunan Gedung Lawang Sewu
Semula, Lawang Sewu yang terletak di jantung kota Semarang, tepatnya di Jl. Pemuda, merupakan kantor administrasi kereta api Belanda bernama Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Gedung Lawang Sewu dibangun di atas lahan seluas 18.232 meter persegi secara bertahap dan dirancang oleh arsitek yang berbeda.
Seorang tour guide, Mas Aris menjelaskan bahwa Lawang Sewu terdiri dari lima bangunan. Proses perancangan awalnya dimulai oleh seorang arsitek asal Belanda Ir. P. de Rieu. Bangunan yang pertama kali dibuat adalah gedung C yang fungsinya sebagai kantor percetakan karcis kereta api pada tahun 1900.
Ir. P. de Rieu kemudian meninggal dunia dan selanjutnya Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag dipercaya untuk melanjutkan pembangunan Lawang Sewu. Pengerjaan gedung A sebagai kantor utama NIS, dimulai pada Februari 1904 dan selesai Juli 1907.
Sang tour guide menjelaskan, bentuk bangunan gedung A Lawang Sewu seperti gerbong kereta api yang saling berhubungan. Hal ini untuk mempermudah komunikasi orang Belanda saat itu. Seiring berkembangnya kantor kereta api Belanda, maka mereka mulai membangun beberapa gedung pendukung yakni gedung B, D, dan E pada tahun 1916 – 1918.
Gedung B sendiri, masih dibangun oleh Prof. J. Klinkhamer dan B. J. Oundag. Sementara untuk gedung D dan E arsiteknya adalah Thomas Karsten. Ia dikatakan sebagai arsitek termuda dan terakhir yang merancang pembangunan Gedung Lawang Sewu.
Bangunan Lawang Sewu, menggunakan batu bata keramik berwarna oranye yang melambangkan sebuah kekayaan, kemakmuran, dan juga menunjukkan kasta tertinggi. Zaman dahulu, batu bata ini tergolong langka dan harga sangat mahal, ditaksir bisa mencapai 300 ribu per-bata. Unik, cetakan bata tersebut ada yang melengkung.
“Dan salah satu alasan kenapa Lawang Sewu banyak pintu bukan hanya untuk membuat sirkulasi udaranya semakin bagus, tapi juga berkaitan dengan kasta, mereka (orang Belanda) sangat menjaga image, jadi kalau bangun ya nggak tanggung-tanggung,” kata Mas Aris.
Setelah mengalami pemugaran dan renovasi, Lawang Sewu kini difungsikan sebagai museum yang menyajikan ragam koleksi yang berhubungan dengan kereta api. Mulai dari seragam masinis, alat komunikasi (telepon kayu, telegraf), alat hitung friden, lemari karcis edmonson, karcis kereta kuno, mesin cetak tanggal untuk karcis kereta, dan lainnya.
Pertempuran Lima Hari dan Kuburan Massal Pemuda AMKA
Lawang Sewu, kemudian berpindah tangan menjadi markas tentara Jepang sekaligus kantor transportasi Jepang bernama Riyuku Sokyoku pada tahun 1942 atau setelah masa kolonial Belanda usai. Jepang, juga mengubah ruang bawah tanah gedung B menjadi penjara dengan eksekusi mati dilakukan di dalamnya.
Di tahun 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaanya. Di tahun yang sama terjadilah pertempuran yang melibatkan AMKA (Angkatan Pemuda Kereta Api) dengan prajurit Jepang. Pertempuran ini, berlangsung selama lima hari tanpa henti yakni pada 15-19 Oktober.
Salah satu penyebab perang lima hari tersebut adalah kaburnya tawanan Jepang pada 14 Oktober 1945 serta tewasnya dr. Kariadi yang merupakan dokter paling andal kala itu. dr. Kariadi ditembak secara keji oleh tentara Jepang di usia 40 tahun satu bulan.
Prajurit Jepang kala itu, berada di dalam kawasan Lawang Sewu, sementara AMKA berada di Wilhelminaplein tepat di seberang Lawang Sewu. Wilhelminaplein dikenal dengan Kawasan Taman Tugu Muda.
Pemuda AMKA dinilai kalah dari segi jumlah dan senjata. Pasalnya, kekuatan Prajurit Jepang ada sekitar 500 ribu orang dengan senjata bayonet, Sedangkan AMKA hanya berjumlah sekitar 2 ribu lebih pemuda dengan senjata bambu runcing. Tetapi, semangat yang menggelora dan pantang menyerah, membuat pemuda AMKA tetap melawan, meski pada akhirnya mereka harus gugur di medan perang.
“Kawasan Wilhelminaplein ini dulunya dijadikan kuburan massal bagi pemuda AMKA yang meninggal. Namun, kemudian jasad-jasadnya dipindahkan ke makam yang lebih layak, yakni Makam Giri Tunggal, makam pahlawan dari pejuang AMKA,” ungkap Mas Aris.
Berlatar sejarah tersebut, kemudian pemerintah Republik Indonesia menetapkan Lawang Sewu sebagai gedung warisan bersejarah yang perlu terus dijaga dan dilestarikan. []