Pelopor.id | Jakarta – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur memutuskan bahwa pembayaran dengan menggunakan metode paylater (bayar kemudian) haram. Keputusan tersebut berdasarkan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Jawa Timur yang digelar Rabu (27/07/2022).
Ketua Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin menjelaskan, paylater haram lantaran mirip dengan berutang di leasing. Namun, pada paylater langsung mencantumkan bunga sekitar dua persen, kemudian denda sekitar satu persen jika ada keterlambatan pembayaran. “Kalau seperti itu secara fiqih tidak dibenarkan,” sebut Khozin Kamis (28/07/2022).
Tetapi, Khozin memberikan pengecualian kepada paylater yang tempo pembayarannya kurang dari satu bulan dan tidak kena bunga. Menurutnya hal itu tidak masalah sebab yang tidak diperbolehkan adalah pinjam uang dengan nominal pembayaran yang lebih. “Kalau kredit boleh, karena memang sudah dijelaskan di awal itu boleh. Ini kan faktornya beda antara paylater dengan sistem kredit,” ungkapnya.
Khozin juga menerangkan bahwa dalam metode pembayaran dengan paylater ada unsur ziyadah atau tambahan yang disyaratkan di muka oleh pihak penerbit paylater kepada konsumen. Namun, kredit harus memenuhi kesepakatan terlebih dahulu antara penjual dan pembeli untuk nominalnya. Kemudian baru dilakukan akad.
“Para kiai memutuskan (paylater) tergolong sesuatu yang tidak diperbolehkan. Apalagi, di paylater itu akan ada debt collector, kemudian akan ada yang mengumumkan. Ini akan sama dengan pinjaman online yang kemudian bahaya di bagian belakangnya,” tandas Khozin.
Sebelumnya NU lewat laman digitalnya menyebutkan, hukum paylater bisa menjadi riba ketika adanya unsur ziyadah (tambahan) yang disyaratkan di muka oleh pihak penerbit paylater kepada konsumennya.

Riba termasuk dalam jenis riba utang yang diharamkan. Pasalnya dengan sistem paylater di mana pembeli bisa mencicil pembayaran, itu sama saja dengan berutang untuk membeli barang tertentu. Bila pihak perusahaan menetapkan syarat berupa tambahan harta/manfaat dari jasa utang yang diberikannya kepada konsumen, maka di satu sisi ia masuk kategori riba qardli.
Alasannya, hukum asal dari utang adalah kembalinya harta sejumlah harta pokok (ra’su al-mal) yang diutang, tanpa tambahan. Jika ada syarat tambahan oleh pemberi utang, maka tidak diragukan lagi bahwa tambahan tersebut merupakan riba.
Namun demikian, jika paylater membebankan biaya tambahan bisa jadi biaya tambahan tersebut bukan termasuk riba. Asalkan biaya tambahan dihitung sebagai jasa atau ijarah yang memang harus dilalui.
Biaya sebagai ijarah ini harus diketahui dengan jelas oleh konsumen termasuk besarannya. Misalnya pembayaran lewat e-commerce tertentu di mana ketika berbelanja dikenakan biaya misal Rp1.000. Tambahan biaya jasa tersebut tidak dikategorikan sebagai riba.
Hukum ketiga transaksi paylater bisa dianggap sebagai bai’ tawarruq, yakni menjual suatu barang secara kredit (muajjalan) dengan harga tertentu, kemudian membelinya kembali secara kontan (hâlan) dengan harga yang tentunya lebih murah dari harga kredit, yang mana waktu antara menjual dan membeli tadi dilakukan bersamaan.
Kemudian, selisih yang belum terbayarkan bisa dicicil tanpa adanya unsur bunga. Namun, yang sulit diterima pada paylater adalah memberlakukan bunga itu dengan nilai persentase dalam rentang tertentu tiap bulan. Jika sudah ada unsur bunga di dalamnya maka akan dikategorikan riba. []