Jakarta | Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok diprediksi akan menggunakan pertemuan keamanan utama Asia pekan ini untuk bertukar pukulan atas segala hal, mulai dari kedaulatan Taiwan hingga perang di Ukraina, meskipun kedua pihak telah menunjukkan kesediaan membahas tentang mengelola perbedaan.
Dialog Shangri-La, yang menarik para pejabat tinggi militer, diplomat dan pembuat senjata dari seluruh dunia, akan berlangsung pada 10-12 Juni di Singapura, pertama kalinya acara itu diadakan sejak 2019 setelah ditunda dua kali karena pandemi.
Di sela-sela KTT, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Menteri Pertahanan Nasional Tiongkok Jenderal Wei Fenghe diprediksi akan menggelar pertemuan tatap muka pertama mereka, sejak Presiden AS Joe Biden menjabat lebih dari dua tahun lalu.
“Kami berharap, dari sudut pandang kami, substansi pertemuan itu akan difokuskan pada pengelolaan persaingan dalam isu-isu regional dan global,” kata seorang pejabat senior AS seperti dikutip dari Reuters.
Hubungan antara AS-Tiongkok memang sudah tegang dalam beberapa bulan terakhir, mulai dari perang Tiongkok terhadap Taiwan, aktivitas militernya di Laut Tiongkok Selatan dan upaya Beijing memperluas pengaruh di kawasan Pasifik.
Meskipun KTT difokuskan pada masalah keamanan Asia, invasi Rusia ke Ukraina akan tetap menjadi pusat diskusi. Konflik yang dimulai sejak 24 Februari 2022 itu telah menewaskan puluhan ribu orang dan membuat kota menjadi puing-puing.
Dengan modal militer dan politik AS yang terserap oleh perang di Ukraina, Austin akan berada di bawah tekanan untuk meyakinkan saingan Tiongkok di Asia bahwa mereka dapat mengandalkan Washington.
“Mereka mengatakan bahwa Tiongkok adalah ancaman besar dan mereka bahkan mengatakan itu adalah ancaman akut. Namun tampaknya sebagian besar perhatian dan sumber daya pada dasarnya ditujukan ke Eropa,” kata mantan pejabat senior Pentagon Elbridge Colby.
Pembicaraan bilateral antara AS-Tiongkok dan sebagian besar konferensi, kemungkinan akan fokus pada Taiwan.
Tiongkok yang mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya sendiri, telah meningkatkan aktivitas militer di dekat pulau itu selama dua tahun terakhir, menanggapi apa yang disebutnya kolusi antara Taipei dan Washington.[]