Jakarta | Parlemen Vanuatu telah mengumumkan keadaan darurat iklim, dengan perdana menteri negara kepulauan Pasifik yang terletak di dataran rendah itu menandai biaya USD 1,2 miliar untuk melindungi negaranya dari dampak perubahan iklim.
Perdana Menteri Vanuatu Bob Loughman mengatakan, kenaikan permukaan air laut dan cuaca buruk sudah tidak proporsional mempengaruhi Pasifik, menyoroti dua topan tropis yang menghancurkan dan kekeringan yang melanda dalam dekade terakhir.
“Bumi sudah terlalu panas dan tidak aman. Kami dalam bahaya sekarang, bukan hanya di masa depan,” kata Loughman seperti dikutip dari AFP.
Parlemen dengan suara bulat mendukung mosi tersebut, dan mengikuti deklarasi serupa oleh puluhan negara lain, termasuk Inggris, Kanada dan tetangga Pasifik Selatan Fiji.
“Tanggung jawab Vanuatu adalah mendorong negara-negara yang bertanggung jawab untuk menyesuaikan tindakan dengan ukuran dan urgensi krisis,” ucap Longman.
Menurutnya, penggunaan istilah darurat adalah cara untuk menandakan perlunya melampaui reformasi seperti biasa.
Deklarasi tersebut merupakan bagian dari dorongan diplomasi iklim menjelang pemungutan suara PBB pada aplikasi pemerintahnya, agar Mahkamah Internasional bergerak untuk melindungi negara-negara yang rentan dari perubahan iklim.
Tahun lalu, negara berpenduduk sekitar 300.000 itu menyatakan akan mencari pendapat hukum dari salah satu otoritas peradilan tertinggi di dunia untuk mempertimbangkan krisis iklim.
Meskipun pendapat hukum oleh pengadilan tidak akan mengikat, Vanuatu berharap hal itu akan membentuk hukum internasional untuk generasi mendatang tentang kerusakan, kerugian, dan implikasi hak asasi manusia dari perubahan iklim.
Longman juga menguraikan peningkatan komitmen negaranya terhadap kesepakatan Paris yang akan dicapai pada 2030, dengan biaya setidaknya USD 1,2 miliar, dalam rancangan rencana yang terutama berfokus pada adaptasi perubahan iklim, mengurangi dampaknya, dan menutupi kerusakan.[]