Jakarta – Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, tingginya harga komoditas dunia saat ini adalah peluang bagi para petani di negara-negara berkembang besar seperti Indonesia, India, Brasil dan Tiongkok untuk menikmati keuntungan lebih.
“Ini ekuilibrium baru dalam perdagangan komoditas pangan dunia. Jangan dirusak dengan menyalahkan salah satu negara misalnya Tiongkok karena posisi dagang yang kurang menguntungkan. Bahaya kalau beberapa negara maju berkelompok untuk membenarkan standar ganda,” tuturnya dalam panel diskusi World Economic Forum bertema “The Biggest Trade Deal in the World” dilansir Sabtu, (28/05/2022).
Mendag Lutfi menjelaskan, standar ganda yang dimaksud adalah negara-negara yang sudah maju menyalahkan dan mengganggu perdagangan bebas dunia, ketika mereka kurang diuntungkan posisi dagangnya terhadap suatu negara tertentu, misalnya Tiongkok.
Padahal lanjut Mendag, dahulu ketika posisi dagang mereka diuntungkan sehingga petani di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang makmur, semua negara berkembang dipaksa membuka pasar mereka.
“Harus ada kebersamaan dan kesetaraan kesempatan dalam perdagangan bebas dunia,” tegas Mendag Lutfi.
Dalam kesempatan yang sama, CEO Suntory Holdings, salah satu produsen makanan dan minuman terbesar di dunia asal Jepang, Tak Miinami menyatakan pesimis dengan situasi perdagangan dunia saat ini.

Khususnya lantaran Tiongkok saat ini menutup pasarnya karena kebijakan Zero-Covid yang diterapkan Presiden China Xi Jin Ping. Sehingga Tiongkok, menurutnya, perlu dibatasi perannya dalam perdagangan dunia.
Mendag Lutfi pun, menyayangkan pandangan tersebut apalagi mengingat Jepang sudah merasakan menjadi negara maju. Menurut Mendag, dunia harus mengakui fakta bahwa ketika Tiongkok mulai mendominasi perdagangan dunia, dampak positifnya dapat dirasakan seluruh masyarakat dunia dengan harga barang-barang yang semakin terjangkau.
“Kami di Indonesia sangat merasakan betul manfaatnya. Apalagi Tiongkok juga menjadi sumber utama transfer teknologi bagi negara-negara berkembang saat ini,” ungkap Mendag Lutfi.
Padahal, lanjut Mendag, Tiongkok baru bergabung dengan WTO di tahun 2001. Namun manfaatnya jauh lebih terasa dibandingkan empat puluh tahun lebih sejak perdagangan dunia didominasi oleh kapitalisme Barat.
“Biarkan harga pangan tinggi saat ini menjadi sinyal agar petani dan peternak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia meningkatkan produksi, sehingga nantinya harga akan turun dengan sendirinya karena pasokan melimpah,” tandas Mendag Lutfi. []