Pelopor.id | Perang Rusia-Ukraina turut memicu kenaikan harga kripto dan token digital hingga menyerupai aset safe haven, padahal sebelumnya sempat menurun.
Analis Senior Swissquote Bank Ipek Ozkardeskaya menilai, kripto bisa menjadi tempat berlindung yang potensial bagi oligarki Rusia yang menghindari sanksi. Pasalnya, tidak akan ada sensor pada jaringan Bitcoin dan transaksi mata uang kripto.
“Cryptocurrency dapat bertindak sebagai penyimpan nilai yang kuat untuk sebagian besar kepemilikan yang tidak perlu likuid,” katanya seperti dikutip dari Yahoo Finance.
Berbagai sanksi terhadap industri keuangan dan perbankan Rusia juga telah menyebabkan sejumlah efek beruntun. Oligarki yang memiliki koneksi ke Presiden Rusia Vladimir Putin saling berebut memindahkan asetnya agar tidak disita oleh pejabat pemerintah.
Sementara Swiss telah meninggalkan netralitas tradisionalnya dan membekukan aset para konglomerat Rusia. Bahkan, sistem milik Rusia terkunci di SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) sebagai sistem saraf keuangan global.
Kripto memang terkenal bergejolak dan rentan terhadap peretasan dan penipuan. Namun harus diakui kripto memiliki daya tarik terdesentralisasi yang membuatnya sulit dilacak dan dikendalikan pergerakannya.
Dengan begitu, kripto berkembang menjadi sesuatu yang aman bagi mereka yang perlu menghindari firewall yang didirikan di sekitar keuangan tradisional. Itulah mengapa Ukraina juga menjadi sarang bagi aliran mata uang kripto, baik ilegal maupun sah.
Direktur Pelaksana Radkl Bea O’Carroll mengatakan, perang dan berbagai sanksi dari negara barat telah memicu tren penggunaan Bitcoin untuk mentransfer nilai. Radkl sendiri adalah perusahaan investasi aset digital.
Dalam lima hari sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, Bitcoin telah melonjak hingga 13 persen. Sedangkan emas sebagai portofolio keamanan tradisional, kini sebagian besar mendatar, setelah naik hingga 3,5 persen pada hari invasi.[]