Pelopor.id – Kesal dengan kelakuan Vladimir Putin, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut Presiden Rusia tersebut ‘bermuka dua’. Ungkapan in bukan tanpa alasan, pasalnya, Putin memerintahkan serangan militer terhadap Ukraina, hanya beberapa jam setelah dia melakukan perundingan dengan para pemimpin Eropa lainnya.
Macron pun menjelaskan, bahwa dirinya dan para pemimpin Eropa lainnya tengah membahas ‘detail penerapan perjanjian Minsk’ dengan Putin, namun hanya dalam beberapa jam kemudian Putin memerintahkan pasukannya menyerang Ukraina pada Kamis (24/02/2022) waktu setempat.
Minsk sendiri, merupakan perjanjian yang dibuat tahun 2015 untuk mengatur gencatan senjata di Ukraina bagian timur, di mana pasukan pemerintah bertempur dengan kelompok separatis yang didukung Rusia.
“Ada yang bermuka dua. Iya, ada pilihan yang diambil dengan sengaja dan secara sadar oleh Presiden Putin untuk melancarkan perang ketika kami masih bisa merundingkan perdamaian,” tutur Macron dalam pernyataannya usai menghadiri rapat darurat Uni Eropa di Brussels, Belgia seperti dikutip dari CNN, Jumat, (25/02/2022)
Meski demikian, Macron menegaskan bahwa dirinya berada dalam posisi sebagai mediator untuk Rusia dan Ukraina bagi kemungkinan gencatan senjata.
“Saya pikir itu adalah tanggung jawab saya, pertama-tama, untuk mengambil inisiatif seperti itu ketika diminta oleh Ukraina, dan kemudian, sambil mengecam, sambil menjatuhkan sanksi, sambil terus mengambil keputusan dan tindakan, akan membiarkan jalan ini terbuka sehingga pada hari persyaratan bisa dipenuhi, kita bisa mendapatkan gencatan senjata dari permusuhan ini bagi rakyat Ukraina,” tegas Macron.
Macron adalah pemimpin besar dari Barat pertama yang berbicara dengan Putin usai aksi militer Rusia dimulai. Keduanya juga berbicara sebelum rapat darurat yang digelar Uni Eropa, tetapi Macron mengaku percakapan telepon dengan Putin tidak menghasilkan banyak hal.
Ukraina merupakan bagian dari Uni Soviet hingga memperoleh kemerdekaaanya pada Tahun 1991. Hubungan Rusia dan Ukraina menegang pada Tahun 2013 akibat kesepakatan politik dan perdagangan penting dengan Uni Eropa.
Viktor Yanukovych, Presiden Ukraina saat itu yang pro-Rusia, menolak perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa demi hubungan yang lebih dekat dengan Moskow. Penolakan ini, memicu gelombang protes hingga rakyat menggulingkannya pada tahun 2014.
Kemudian di tahun yang sama, yakni pada Maret 2014, Rusia mencaplok Krimea, sebuah semenanjung otonom di Ukraina selatan dalam referendum yang dikecam oleh Ukraina dan sebagian besar dunia sebagai hal yang tidak sah.
Uni Eropa dan AS, memberlakukan serangkaian tindakan sebagai tanggapan atas tindakan Rusia di Krimea dan Ukraina timur, termasuk menjatuhkan sanksi ekonomi yang menargetkan individu, entitas, dan sektor tertentu dari ekonomi Rusia.
Selain pencaplokan Krimea, keinginan Ukraina untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO) juga memicu tanggapan keras Rusia. Negeri Beruang Merah seakan melarang kehendak Ukraina bergabung dengan NATO, yang berdiri dengan bertujuan melawan ancaman ekspansi Rusia pascaperang di Eropa.
NATO yang didirikan pada tahun 1949, kini telah berkembang ke 30 negara, termasuk bekas republik Soviet yakni Lituania, Estonia dan Latvia. NATO menegaskan, bahwa jika satu negara diserang atau diserang oleh pihak ketiga, maka semua negara yang tergabung di dalamnya akan secara kolektif memobilisasi pertahanan. []